TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara soal desakan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Militer. Desakan ini muncul setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan atau OTT terhadap dua TNI aktif atas dugaan korupsi di Basarnas. Namun kasus itu diambil alih oleh Puspom TNI dan tak bisa diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
“Belum sampai ke sana,” ujar Jokowi singkat di Sekretariat ASEAN, Jakarta Selatan, Selasa, 8 Agustus 2023. Sebelumnya, Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD sependapat dengan opini yang menyebut perlunya revisi Undang-Undang Peradilan Militer.
“Ya nanti kami agendakan, kan sudah ada di prolegnas, ya. Di prolegnas jangka panjang. Nantilah kami bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” kata Mahfud MD di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Agustus 2023.
Mahfud mengatakan sudah menampung saran revisi UU Peradilan TNI tersebut. Namun, untuk saat ini dia berpendapat kasus dua TNI aktif tersebut paling tepat dikerjakan oleh Puspom TNI, karena UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan TNI masih berlaku.
Mahfud juga menyatakan percaya kasus ini bakal selesai dikerjakan oleh Puspom TNI. “Saya percaya, saya percaya. Nyatanya kita koordinasi sehari langsung tersangka,” kata Mahfud MD.
Sebelumnya, Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka diduga terlibat kasus korupsi proyek pengadaan barang di Basarnas.
Namun, meski KPK telah menetapkan Henri Alfiandi dan Afri sebagai tersangka, kasus tersebut akhirnya diserahkan ke Puspom TNI karena kasus keduanya bakal diusut melalui mekanisme TNI. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyayangkan sikap KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi ke Puspom, karena dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
Iklan
Koalisi Sipil ini terdiri dari organisasi lintas bidang, seperti Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP. Koalisi menyebut UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer juga menjadi celah karena kasus korupsi yang melibatkan TNI tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas.
Oleh karena itu, Koalisi mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU tersebut karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum. “Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya,” ujar Koalisi.
Koalisi juga meminta agar kasus korupsi tersebut diusut tuntas oleh KPK. Walaupun, kasus ini melibatkan dua TNI aktif sehingga dianggap harus diselesaikan melalui Puspom TNI. “KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini. KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi,” ujar Koalisi.
Menurut Koalisi, KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau UU khusus yang mengenyampingkan UU yang umum. Dengan demikian, menurut Koalisi, KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. “Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel,” bunyi pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil.
Pilihan Editor: Penambahan Kodam dan Revisi UU TNI Dinilai Bakal Perluas Peran Militer di Sipil
Quoted From Many Source